Home » ARTIKEL » Mewaspadai Sisi Lain dari Kurikulum Merdeka

Mewaspadai Sisi Lain dari Kurikulum Merdeka

Oleh: Jefrianus Kolimo, S.Pd., Gr

SMP Negeri 2 Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua, NTT

Rasanya tidak salah jika tahun 2023, saya sebut sebagai salah satu tahun bersejarah dalam sistem pendidikan nasional kita. Hal ini karena kita mengalami transisi kurikulum pendidikan dari kurikulum 2013 beralih ke kurikulum merdeka. Perubahan ini dilakukan secara bertahap.

 Sejak tanggal 6 Februari 2023 sampai dengan 14 April 2023, satuan pendidikan yang ada di bawah naungan Kemendikbudristek dapat mendaftarkan diri untuk mulai mengimplementasikan kurikulum merdeka berdasarkan kesiapan masing-masing. Ada 3 pilihan kurikulum merdeka yang dapat menjadi pilihan setiap sekolah yaitu mandiri belajar, mandiri berubah, serta mandiri berbagi. Dengan berpatokan pada kondisi ataupun keadaan di masing-masing satuan pendidikan, semua sekolah dapat bebas memilih salah satu dari 3 pilhan kurikulum tersebut. Pilihan itu yang selanjutnya dipakai sebagai pedoman atau pegangan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran baik itu intra, ekstra, maupun ko-kurikuler. Secara teknis khususnya terkait tata cara penerapan kurikulum merdeka, sejauh ini memang tidak ditemukan adanya hambatan berarti. Hal ini karena sudah banyak refrensi yang tersedia salah satunya melalui aplikasi Platform Merdeka Mengajar.

Batasan Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 dinarasikan sudah tidak lagi relevan dipakai sebagai landasan sekaligus instrumen untuk melangsungkan pembelajaran di dalam kelas. Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 3.391 siswa SD yang tersebar di 7 Kabupaten dan 4 Provinsi yang dilakukan sebelum dan setelah pandemi pada Januari 2020 dan April 2021 menunjukkan kepada kita akan batasan penerapan kurikulum 2013. Hasil survei menunjukkan bahwa sekolah yang menggunakan kurikulum 2013 mengalami keterlambatan waktu belajar saat pandemi Covid-19. Setelah pandemi untuk aspek literasi, siswa mengalami keterlambatan setara dengan 6 bulan waktu belajar. Waktu tersebut setara dengan 1 semester dalam hitungan kalender akademik di sekolah. Sementara untuk aspek numerasi, keterlambatannya sebesar 5 bulan waktu belajar. Diprediksi juga bahwa siswa yang berada di daerah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal), keterlambatannya bahkan bisa setara dengan 8-10 bulan waktu belajar (Kompas, 17/02/22, hal A). Merujuk survei tersebut, jika dipetakan maka untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP), seorang siswa harus dengan terpaksa melewatkan paling sedikit 2-3 Kompetensi Dasar (KD) yang diprogramkan. Memang tidak banyak. Tetapi sialnya adalah terdapat beberapa mata pelajaran seperti MIPA (Matematika dan IPA) yang sifat dan karakteristiknya sangat sistematis dan terstruktur. Artinya bahwa 1 KD bertautan erat dengan KD yang lain. Sehingga melewatkan 1 KD sama halnya juga dengan mengabaikan beberapa KD lainnya. Karena itu, masalah keterlambatan belajar (learning loss) dalam arti yang lebih dalam adalah terabaikannya pemenuhan sederet kompetensi kognitif siswa.

Dari persoalan tersebut, pembelajaran yang hanya berfokus pada materi-materi esensial menjadi hal baru yang ditawarkan oleh kurikulum merdeka. Teorinya adalah dengan hanya berfokus pada materi esensial, beban pembelajaran yang dipikul siswa akan sedikit berkurang. Dengan begitu, diharapkan rentang keterlambatan belajar selama masa pandemi bisa dipangkas. Kebijakan serupa sudah dilakukan oleh Pemerintahan China baru-baru ini. Pemerintahan China melalui Kantor Umum Komite Central dan Partai Komunis China pada Tahun 2022 lalu melakukan perombakan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar siswa di sekolah dan luar sekolah. Dengan merombak kurikulum melalui kebijakan pengurangan beban belajar siswa, didapati bahwa kondisi para siswa yang meliputi kepribadian, kreativitas, dan tanggung jawab menjadi lebih baik. Salah satu hasil kemajuannya adalah terlihat dari kondisi siswa dan nilai ujian sekolah yang naik hampir 10 persen. Selain itu dengan adanya kebijakan tersebut, rata-rata jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan sekolah meningkat dari 1 atau 2 buku menjadi 5 buku (Kompas, 13/04/2022, hal D). Juga dengan adanya pembelajaran berdiferensiasi yang diamanatkan dalam Kurikulum Merdeka, siswa dapat belajar berdasarkan profil, gaya, maupun kecepatan belajarnya sehingga harapannya dapat memfasilitasi siswa untuk menguasai kompetensi yang perlu dipelajarinya dengan lebih baik lagi.

Para pembuat kebijakan pendidikan kita sudah tentu mengharapkan hasil yang serupa. Karena itu, saat ini, para kepala sekolah di seluruh Indonesia didorong untuk menjadi bagian dari inovator kurikulum baru ini. Memang sifatnya pilihan, bukan paksaan. Akan tetapi, tidak sedikit sekolah yang bereuforia bahkan sangat antusias terhadap perubahan dan inovasi ini. Tidak dipungkiri bahwa narasi-narasi positif terkait keunggulan kurikulum merdeka yang sudah beberapa tahun ini selalu dikampanyekan turut menjadi daya tarik dan pelecut semangat sekolah untuk terlibat mendaftar. Kita berharap bukan hanya sekedar bereforia dalam urusan daftar-mendaftar. Harapannya adalah harus lebih dari itu. Implementasinya pun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Maka dari itu, keberhasilan penerapannya tidak terlepas juga dari apa yang dilakukan guru di dalam kelas. Karenanya, peningkatan kualitas guru agar semakin layak untuk mengajar semakin terus digiatkan lewat berbagai program pemerintah. Namun tak dapat dipungkiri juga bahwa semarak peralihan kurikulum terdengar sangat riuh hanya di ruang lingkup komunitas guru. Seolah-seolah, berhasil atau tidaknya penerapan kurikulum baru semata-mata menjadi tanggung jawab guru seorang. Euforia peralihan kurikulum terlihat tidak seriuh euforia ataupun antusias orang tua saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Padahal keduanya sama-sama punya dampak langsung dan signifikan terhadap kegiatan belajar siswa. Karena itu ada guru yang bahkan berpandangan bahwa banyak orang tua yang saat ini hanya menginginkan anak untuk bersekolah saja. Bersekolah dalam pengertian mereka adalah sebatas hanya pergi ke sekolah. Selanjutnya, aktivitas yang dilakukan anak bukan lagi menjadi tanggung jawab mereka. Tidak salah memang pendapat guru tersebut. Sebab terkadang dalam banyak pemberitaan saat ini, ada orang tua yang sangat kaget ataupun tidak menduga jika anaknya sampai-sampai berlaku menyimpang dari yang mereka pikir baik selama ini.

 Sudah banyak teori yang melandaskan bahwa mau bagaimana pun bentuk dan struktur kurikulum pendidikan nanti, orang tua, siswa, dan guru selalu menjadi faktor kuncinya. Karena itu, kunci keberhasilan kurikulum sangat keliru jika hanya menjadi tanggung jawab guru semata. Sebagai pembanding, di China, pembatasan penggunaan gawai pada anak-anak setidaknya juga turut menjadi faktor pendukung keberhasilan penerapan kurikulum baru. Membatasi penggunaan dan peredaran game daring bahkan sudah diterapkan terlebih dahulu sebelum kurikulum baru digunakan. Pembatasan ini mengatur antara lain soal jumlah game video yang bisa dimainkan secara daring, membatasi jumlah game video baru, menentukan pembatasan usia untuk game, serta mengurangi jumlah waktu bermain game untuk anak-anak. Implementasinya pun dilakukan secara serius. Untuk bermain game, seseorang sudah harus menggunakan sistem verifikasi identitas, salah satunya dengan pemeriksaan raut wajah agar tidak ada anak-anak yang bermain game video pada waktu-waktu tertentu (Kompas, 4/9/2021, hal 4). Meskipun belum secara menyeluruh dan ketat seperti di China, tetapi beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan pun sudah mulai menerapkan pembatasan serupa.

Bukan Hanya Guru

Merujuk dari pengalaman tersebut, sekali lagi saya simpulkan bahwa keberhasilan penerapan kurikulum baru sebenarnya tidak hanya semata-mata berada di pundak seorang guru. Faktor lain seperti aktivitas siswa khususnya yang berada di luar kendali dan pengawasan guru juga menjadi faktor lain yang perlu diwaspadai. Di luar kendali guru sama artinya dengan dalam kendali orang tua atau lingkungan sekitar. Situasi seperti ini perlu juga diwaspadai. Saat diluar kendali guru dan orang tua, banyak siswa yang bukannya memanfaatkan waktu untuk belajar tetapi sebaliknya malah dipakai untuk aktivitas yang tidak seharusnya seperti bermain game dan lain sebagainya. Fakta yang penulis dapati ini tidak mengagetkan sebab mengingat data dari Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis pada Tahun 2020 silam, terdapat 67,1 juta pengguna internet aktif usia 13-17 Tahun di Indonesia. Ditambah lagi, hingga saat ini pun sudah semakin banyak diberitakan anak-anak yang masih berusia remaja menjadi pelaku kriminal. Dugaan sementara bahwa anak-anak tersebut terpengaruh akan paparan media sosial khususnya saat menonton konten-konten bermuatan kekerasan hingga merangsang mereka untuk saling unjuk kebolehan. Tentu kita berharap bahwa dengan menerapkan merdeka belajar, seharusnya rentang ketertinggalan belajar anak dapat dipangkas, apalagi dalam kurkulum merdeka juga menguatkan profil pelajar Pancasila agar siswa memiliki karakter yang baik. Maka dari itu, peran serta orang tua saat implementasi kurikulum yang saat ini sedang giat-giatnya dilakukan khususnya dalam menjaga, mengawasi, dan mengontrol aktivitas anak, melalui tulisan ini penting untuk kembali diingatkan. Semoga.

0 0 votes
Article Rating

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments