Home » 2013 » October

Monthly Archives: October 2013

Diklat Guru Di Era Digital

Oleh : MUH. TAMIMUDDIN H

Sudah beberapa malam Kartiyem seperti tak mau lepas dari laptopnya. Guru matematika di wilayah Lampung Tengah ini hampir setiap saat selalu online. Meski lokasi tinggalnya jauh dari kota besar dan dengan sinyal yang seadanya tak menyurutkan semangatnya untuk belajar melalui Internet. Di pulau lain, tepatnya di Nunukan, Kalimantan TImur yang berbatasan dengan wilayah Malaysia, Maslaeni, yang juga guru matematika, beberapa hari terakhir juga memiliki kebiasaan serupa, sibuk berkutat dengan laptop dan Internet bahkan sampai larut malam.  Maslaeni bahkan tak hanya harus berjuang dengan keberadaan sinyal Internet tapi juga dengan keberadaan aliran listrik yang sering padam, kontras dengan wilayah sebelah, yang notabene sudah masuk wilayah negri jiran, yang selalu terang benderang.  Kartiyem dan Maslaeni adalah dua orang guru matematika dari ratusan guru lain yang tengah mengikuti kegiatan diklat (pendidikan dan pelatihan) guru matematika secara jarak jauh dan dilakukan sepenuhnya secara online.

Adalah PPPPTK Matematika yang merupakan unit pelaksana teknis di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mulai menapak lebih serius dalam pemberdayaan guru matematika se-Indonesia dengan mengambil jalur yang non-konvensional ini, dimana kegiatan dilaksanakan online. Untuk mengikuti diklat peserta tidak harus datang secara fisik tapi dengan mengakses situs web yang telah disediakan, yaitu etraining.p4tkmatematika.org.

Diklat E-Training
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, e-learning  merupakan alternatif baru yang cukup menjanjikan. Beberapa lembaga pendidikan formal,khususnya perguruan tinggi, mulai memanfaatkan e-learning sebagai media pembelajarannya dan mulai diikuti kalangan lembaga kediklatan-pun mulai memanfaatkan e-learning sebagai media diklat, atau dalam hal ini sering disebut sebagai e-training.Efisiensi biaya dan luasnya jangkauan menjadikan e-training sebagai upaya baru untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dengan cara  memberdayakan guru-guru yang jumlahnya jutaan melalui diklat. Dalam pembukaan kegiatan diklat online yang ditayangkan secara daring melalui situs Youtube, Kepala Pusat PPPPTK Matematika, Prof.Dr.rer.nat. Widodo, M.S. menyinggung mengenai tuntutan bagi guru-guru terutama dengan telah diberlakukannya Permenpan RB No. 16 tahun 2009 pasal 11 disebutkan bahwa guru tidak hanya mengajar dan menilai pembelajaran saja, tetapi guru harus melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah dan karya inovasi. Termasuk dalam pengembangan diri adalah mengikuti diklat. Dengan diberlakukannya peraturan ini maka dipastikan nantinya banyak guru-guru yang harus mengikuti diklat agar kenaikan pangkatnya tidak terhenti. Padahal lembaga diklat seperti PPPPTK Matematika jumlahnya sangat terbatas dengan kapasitas untuk mendiklat guru yang juga tidak sepadan dengan kebutuhan. Sebagai contoh saja, untuk guru bidang studi matematika, ditambah guru sekolah dasar (yang notabene juga harus mengajar matematika) jumlahnya mencapai lebih dari 1,5 juta yang kesemuanya tentu harus terus menerus ditingkatkan baik wawasan keilmuan maupun keterampilan mengajarnya.
Jika hanya mengandalkan diklat konvensional dengan tatap muka saja maka dibutuhkan waktu puluhan tahun agar semua guru merasakan diklat. Selain jumlah sasaran masalah lainnya adalah biaya penyelenggaraan yang pasti akan sangat besar.

Kualitas dan Jangkauan
Dari sisi konten, ketersediaan materi secara digital akan menjamin materi sesuai standar. Peserta diklat dari wilayah manapun akan dapat memperoleh materi yang sama persis.  Yang menjadi tantangan terbesar dari diklat semacam ini adalah bagaimana menjamin proses pembelajaran sesuai yang direncanakan, termasuk mencegah  adanya kecurangan. Untuk itu evaluasi pembelajarannya harus dilakukan dengan khusus.
Sementara itu sebaran peserta ternyata cukup merata. Kekhawatiran awal bahwa  guru-guru akan kesulitan mengikuti diklat seperti ini, mengingat faktor jangkauan internet dan rendahnya literasi TIK ternyata tidak sepenuhnya benar. Banyak guru-guru berinisiatif mengusahakan akses Internet sendiri, mengingat sekolah tidak tersedia atau tidak maksimal. Seringkali peserta juga harus pintar-pintar menyiasati keterbatasan, misalnya mengakses materi saat tengah malam dimana koneksi lebih cepat.Dari tulisan-tulisan peserta yang dipublikasikan di blog masing-masing, serta respon dan interaksi di forum diskusi, sebagian besar guru peserta diklat merasa sangat terbantu dan memperolah banyak manfaat dengan mengikuti diklat ini, meskipun semua proses dilakukan tanpa tatap muka sama sekali.

Jumlah sasaran yang lebih banyak, jangkauan lebih luas, biaya yang lebih efisien dan pelaksanaan yang fleksibel membuat e-training menjadi salah satu alternatif yang cukup menarik bagi peningkatan mutu guru yang nantinya diharapkan akan berimbas bagi peningkatan mutu pendidikan secara umum. Dengan e-training, Kartiyem, Maslaeni dan ribuan guru lain akan dapat meningkatkan kompetensi dengan lebih mudah bahkan tanpa harus meninggalkan kewajiban utamanya, yaitu mengajar di kelas.

 

Perubahan Kurikulum dan Tugas Guru

 

 

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2013 baru saja usai, torehan hitam mewarnai agenda tahunan yang digelar oleh Kemendikbud sebagai pemegang otoritas pelaksanaaan asesmen  pendidikan  skala nasional. Digelarnya ujian yang tidak serentak (khususnya jenjang SMA/SMK), kualitas pencetakan soal, lembar jawab yang tipis, serta isu kebocoran masih menghiasi media masa terkait pelaksanaan UN. Isu ini cukup marak hingga sempat melupakan isu “perubahan” kurikulum yang santer diberitakan awal tahun 2013. Bayang-bayang hitam ini sempat menghantui Kemendikbud untuk meng-eksekusi  kurikulum 2013 dimana tahun ajaran 2013/2014 sudah di depan mata.

Hunkins & Ornstein (1998, 320) menyebutkan sebagai sebuah “guideline” dalam mengawal jalannya pendidikan, kurikulum idealnya dalam kurun waktu 7-10 harus dievaluasi atau dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan  dinamika masyarakat. Artinya “perubahan” kurikulum atau tepatnya pengembangan kurikulum dari kurikulum yang sudah ada sebelumnya yakni KBK tahun 2004 ataupun KTSP tahun 2006 sudah sewajarnya untuk dikaji ulang. Bisa dipahami apabila sementara kalangan merasakan terlalu terburu-buru untuk diganti dengan kurikulum 2013, guru dan orang tua merasa baru “tune-in” dengan kurikulum sebelumnya akan tetapi justru akan diganti. Siswa merasa sudah ‘settle” dengan buku, LKS ternyata akan digantikan dengan buku dengan kemasan lain. Sementara para pemerhati ekonomi-pendidikan melihat,  pengembangan kurikulum yang membutuhkan dana trilyun-an rupiah merupakan pemborosan dana yang kadang sulit diukur keberhasilan maupun efektifitasnya.

Urgensi perubahan

            Sedikitnya ada 3 (tiga) alasan mendasar mengapa kurikulum kita perlu dikembangkan (Kemendikbud, 2012). Pertama, demographic dividend  atau bonus demografi. BPS tahun 2011 menyebutkan, struktur penduduk Indonesia th.2010 usia 0-9 th sebesar 45,93 juta, sementara usia 9-14 tahun  sebesar 43,55 juta. Apabila diproyeksikan 35-40 tahun ke depan, yakni memasuki 100 tahun, usia emas kemerdekaan kita (tahun 2045) mereka akan memasuki usia produktif.  Negara maju di Eropa juga Amerika  pada sekitar tahun tersebut dengan harapan hidup (life expectancy) yang tinggi, akan lebih banyak dibebani untuk menangani elder people (usia 70-an tahun ke atas yang notabene kurang produktif). Indonesia diuntungkan dengan jumlah usia produktif yang lebih banyak dan inilah  sumber daya manusia yang tentunya harus disiapkan dan digarap secara matang menghadapi tantangan global.   

            Kedua, global competitiveness atau persaingan global. Berkaca dari hasil TIMSS ataupun PISA sebagai parameter prestasi siswa pada skala internasional, kita perlu mengkaji kembali bagaimana praktik pembelajaran yang sebenarnya terjadi. Prestasi siswa kita masih cukup memprihatinkan.yakni pada peringkat 39 (TIMSS th. 2011) dan peringkat 42 (PISA th. 2010) menuntut kita untuk “mengintip” praktik pembelajaran di negara-negara yang berhasil dalam menerapkan scientific approach (yakni: mengamati, menanya, menalar, dan menyusun jejaraing/menyimpulkan) dalam membelajarkan siswanya. Paradigma konstruktivisme, collaborative learning, serta authentics assessment menjadi pilar-pilar pendidikan dalam mencerdaskan anak bangsanya.

            Ketiga, pergeseran paradigma pembangunan dari pembangunan yang berbasis sumber daya (alam) mengarah pada pembangunan berbasis peradaban.  Sumber daya alam bukan lagi sebagai modal pembangunan, akan tetapi peradabanlah yang akan menjadi modal pembangunan. Sumber daya manusia bukan lagi beban pembangunan, akan tetapi SDM beradablah yang menjadi modal pembangunan. Transformasi ini hanya bisa dilakukan dengan pendidikan. SDM beradab adalah SDM yang berpendidikan (berpengetahuan dan berketrampilan) dan berbudaya (berkarakter).  Fenomena negatif yang mengemuka: perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam ujian (nyontek, kerpek, dsb). adalah bentuk lemahnya penguatan aspek afektif pendidikan yang mermuara pada dekadensi perdaban manusia.  

Tugas Guru.

            Menghadapi akan diberlakukannya kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas, setidaknya ada 3 (tiga) hal yang bisa dilakukan guru. Pertama, perubahan mind set/pola pikir. Pengembangan kurikulum dengan pendekatan saintifik memungkinkan siswa untuk terlibat aktif  dalam pembelajaran melalui mengamati, menanya, menalar pada proses inquiry, eksplorasi, dan elaborasi. Perubahan pola pikir guru dibutuhkan untuk bisa berperan lebih menjadi fasilitator dan motivator dari pada inisiator dan eksekutor, dalam merubah dari teacher centered ke student centered. Implementasi collaborative learning akan membantu siswa bisa menyikapi keberagaman dan kerjasama sebagai etos akademik dalam menemukan dan mengungkap feomena ilmiah, yakni dari kebiasaan anak diberi tahu mengarah kepada memfasilitasi anak mencari tahu.  Sementara authentics assessment semakin dikedepankan sebagai assessment for learning dari pada assessment of learning.  Hal-hal tersebut bisa terwujud tatkala ada good will dari para guru untuk merubah mind set-nya bahwa tugas mengajar adalah sebagai komitmen profesi dalam membelajarkan dan mencerdaskan anak bangsa.  

            Kedua, tindakan konstruktif dan inovatif. Rencana pengembangan kurikulum 2013 yang akan diikuti dengan fasilitasi buku siswa, buku pedoman guru, maupun silabus serta RPP-nya tentunya tidak malah membuat guru merasa “santai”  dalam mengajar. Akan tetapi hal ini dimaksudkan dengan harapan guru tidak lagi terlalu disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administratif, tetapi lebih fokus pada kegiatan inovatif akademis pembelajaran di kelas. Keunikan peserta didik, keragaman lingkungan belajar, maupun keterbatasan sarana/prasarana yang ada  adalah adagium pedagogis yang harus disikapi tentunya dengan penyesuaian strategi/model pembelajaran yang adaptif dan edukatif. Artinya, guru justru harus mengkritisi secara konstruktif dan inovatif  buku, silabus, dan RPP yang ada untuk disesuaikan dengan peserta didiknya. Ibarat seorang pastry; meski resep dan bahan rotinya sama, namun di tangan pastry yang profesional akan dihasilakn roti yang berbeda dengan pastry yang amatiran. Keahliaan, kejelian dan kecerdasan guru dalam meramu “ kompetensi inti, dan kompetensi dasar; aspek sikap, pengetahuan, dan aspek keterampilan; akan menghasilkan siswa yang kompeten dan men-drive berpikir high order thinking dalam bangku sekolahnya guna keberlanjutan pada jenjang berikutnya. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) baik melalui  level sekolah maupun kelompok/wadah se-profesi (KKG/MGMP), perlu ditingkatkan untuk saling asah, asih, dan asuh sesama kolega guna menghasilkan siswa-siswa yang cerdas dan unggul.   

            Ketiga, sikap teladan guru. Seiring dengan kompleksitas dan perkembangan peradaban dunia di era globalisi, tugas mendidik guru perlu dikedepankan dalam aspek penguatan sikap dan budi pekerti siswa.   Pendidikan karakter tidak hanya terhenti pada pengetahuan saja akan tetapi perlu suatu pengintegrasian pada pembiasaan pembelajaran, suri tauladan, apresiasi dan implementasi  norma akademis yang nantinya tercermin pada norma sosial yang semakin utuh dalam praktik berbangsa dan bernegara. Terkait dengan hal tersebut,  tugas guru utamanya untuk mengintegrasikan nilai sikap dan pendidikan karakter dalam praktik pembelajaran yang diampunya, yang selanjutnya akan menjadi school culture untuk bisa merambah entitas diri pribadi siswa yang berkarakter. Inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan kelak menyongsong ketatnya persaingan global untuk tetap berpegang pada jati diri bangsa.                          

Suatu keharusan?

            Tatkala kita meng-“amin-i” rasional urgensi perubahan di atas, maka kita sepakat bahwa pengembangan kurikulum dibutuhkan dalam menyiapkan generasi mengahadapi ulang tahun emas kemerdekaan kita. Pengembangan kurikulum diharapkan akan menciptakan sumber daya manusia yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif.  Penguatan kemampuan afektif yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi, serta pembiasaan untuk bekerja dalam jejaring melalui collaborative learning, penguatan kreativitas, serta pendidikan karakter akan membekali dalam memenangi ketatnya persaingan global. Namun demikian, sekiranya kita sanksi akan rasional urgensi di atas, bukan tidak mungkin kita  menelantarkan anak cucu kita dalam kancah atau “kubangan” globalisasi yang bisa mengancam integritas dan jati diri bangsa dalam wadah NKRI. Adalah tugas pemerintah untuk menjalankan amanah ini dengan transparan, akuntabel dan visioner dalam integritas dan dedikasi kenegarawanan seorang pemimpin. Sementara masyarakat akan selalu mengawal implementasi dan pengawasannya. Sekali lagi tahun ajaran 2013/2014 di depan mata,  pelaksanaan UN menjadi pelajaran berharga jika ingin meng-eksekusi kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas ataupun dalam bentuk piloting.   

                                                                                                      

Referensi

Kemendikbud (2012). Pengembangan Kurikulum 2013 (Paparan Mendikbud pada SosialisasiKurikulum 2013 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tgl. 28 Februari 2013. 
 
Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (1998). Curriculum: Foundations, principles, and issue.(3rdEdition)  MA. Allyn & Bacon.  
 

Penyusunan Lembar Kegiatan Siswa ( LKS ) sebagai Bahan Ajar

Oleh : Dra. Theresia Widyantini, M.Si

Sebelum pelaksanaan  pembelajaran di kelas, seorang  guru perlu  menyiapkan bahan ajar yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Bahan ajar yang lengkap akan membantu guru dalam  mengajar, dan membantu siswa dalam proses belajar. Suatu bahan ajar ikut menentukan pencapaian tujuan pembelajaran. Lembar kegiatan siswa atau sering disingkat dengan LKS yang dibuat oleh guru untuk membantu pelaksanaan pembelajaran di kelas merupakan bagian dari suatu bahan ajar.  Pengertian bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.  Bahan ajar dapat  berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. (National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training). Sebagaibagian dari bahan ajar maka lembar kegiatan  siswa haruslah disusun secara sistematis sehingga mendukung tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.  

Download file ” Penyusunan Lembar Kegiatan Siswa sebagai Bahan Ajar”